

Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan survei kepada kelompok Perempuan, ditemukan 71 ribu perempuan berusia 15 hingga 49 tahun yang tidak ingin memiliki anak. “Perempuan yang menjalani hidup secara childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Akan tetapi gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi,” demikian laporan BPS tahun 2023
Jakarta, legacynews.id – Fenomena pasangan muda yang memilih untuk tidak memiliki anak, atau yang dikenal dengan istilah “childfree,” telah menjadi topik perbincangan yang semakin hangat dalam beberapa tahun terakhir. Childfree memiliki pengertian kepada keputusan individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui adopsi, meskipun keberadaan suami istri secara fisik dan finansial mampu untuk melakukannya. Gejala ini bukanlah hal baru, namun semakin meningkat seiring dengan perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat global.
Dalam jangka pendek, perempuan childfree dapat artikan meringankan beban anggaran pemerintah karena angka subsidi pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak menjadi berkurang. Tetapi dalam jangka panjang, dana kesejahteraan perempuan childfree usia tua akan berpotensi menjadi tanggung jawab negara.
Perkembangan Fenomena Childfree
Fenomena childfree sebenarnya telah ada sejak lama, namun tidak terekspos terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, gejala ini mulai tampak di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk peningkatan kesadaran akan hak individu, perubahan peran gender, dan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan karier bagi perempuan.
Satu dari sekian banyak alasan dari pasangan suami istri untuk memilih tidak memiliki anak adalah faktor ekonomi. Biaya membesarkan anak yang semakin tinggi, termasuk biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari, inilah pertimbangan penting bagi banyak suami istri muda. Dalam situasi ekonomi yang belum mapan, banyak suami istri merasa lebih aman secara finansial apabila tidak memiliki anak.
Perubahan pandangan hidup, nilai-nilai sosial dan budaya juga berperan dalam mengambil keputusan untuk menjadi childfree. Di negara berkembang seperti Indonesia, ada pergeseran dari nilai-nilai tradisional yang menekankan pentingnya memiliki keturunan, menuju nilai-nilai yang lebih individualistis dan berfokus pada pencapaian pribadi. Kemudian, stigma sosial terhadap pasangan yang tidak memiliki anak juga mulai berkurang, sehingga lebih banyak pasangan merasa nyaman dengan keputusan mereka.
Faktor pribadi, seperti keinginan untuk mengejar kesuksesan dan menjalani karier atau kebebasan pribadi, juga menjadi faktor penting. Selain itu, masalah kesehatan, baik fisik maupun mental, dapat mempengaruhi keputusan untuk tidak memiliki anak. Dapat dipahami bahwa suami istri muda usia mungkin merasa tidak siap secara emosional atau fisik untuk menghadapi tanggung jawab sebagai orang tua.
Dampak dari Keputusan Childfree
Keputusan untuk tidak memiliki anak dapat memberikan sejumlah dampak positif bagi suami istri muda usia. Pasangan bisa memiliki lebih banyak waktu dan sumber daya untuk mengejar mimpi, karier, dan pergaulan sosial. Selain itu, pasangan childfree sering kali menyatakan bahwa mereka memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi karena dapat fokus pada kebahagiaan dan kesejahteraan berdua.
Keputusan tidak memiliki anak membawa dampak negatif. Terkadang suami dan istri menghadapi tekanan orang tua dan teman yang tidak setuju dengan pilihan mereka. Selain itu, bisa saja timbul perasaan kesepian atau penyesalan di kemudian hari, terutama ketika pasangan memasuki usia tua tanpa kehadiran anak-anak.
Fenomena childfree menimbulkan berbagai pro dan kontra di dalam gereja maupun masyarakat. Pendukung keputusan ini berargumen bahwa setiap individu atau suami dan istri untuk memiliki hak untuk menentukan jalan hidup sendiri tanpa tekanan dari norma sosial. Sementara itu, pihak yang menentang sering kali berpendapat bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak dapat berdampak negatif pada keturunan dalam keluarga dan tidak memenuhi mandat ilahi mengenai hakikat berkeluarga yaitu memiliki keturunan.
Gejala pasangan muda yang memilih untuk tidak memiliki anak adalah cerminan dari perubahan pandangan terhadap nilai-nilai agama, sosial dan budaya. Keputusan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk ekonomi, sosial, budaya, dan alasan pribadi. Meskipun menimbulkan pro dan kontra, penting untuk menghormati pilihan individu dan pasangan suami istri dalam menentukan jalan hidup mereka. Dalam masyarakat yang semakin global, penerimaan terhadap berbagai pilihan hidup, termasuk keputusan untuk menjadi childfree, adalah langkah penting menuju inklusivitas dan penghargaan terhadap hak individu. Namun perlu diingat pesan firman Tuhan dalam Kejadian 1: 27, 28 “Maka, Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Menurut gambar Allah, Ia menciptakannya. Ia menciptakan mereka laki-laki dan perempuan. Allah memberkati mereka dan berkata, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah, penuhilah bumi dan kuasailah itu. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara. Berkuasalah atas setiap makhluk hidup yang bergerak di atas bumi.”
Pro Ecclesia Et Patria
Leave a Reply