Festival Air Suwat Berupa Perang Air Sebagai Simbol Mensucikan Diri

/script>

Masyarakat Desa Adat Suwat di Kabupaten Gianyar, Bali, punya tradisi unik menyambut pergantian tahun. Mereka selalu menggelar Festival Air Suwat dengan puncak kegiatan berupa perang air sebagai simbol mensucikan diri.

Jakarta, legacynews.id – Ada beragam cara dilakukan masyarakat untuk merayakan pergantian tahun. Di Desa Suwat, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, masyarakatnya memiliki kebiasaan unik untuk menyambut hadirnya tahun baru, baik itu Saka dalam kalender Hindu Bali ataupun Masehi dalam penanggalan umum.

Seperti yang terjadi belum lama ini, mereka menggelar sebuah kegiatan menarik, melibatkan seluruh lapisan warga di desa adat yang letaknya sekitar 15 menit dari Istana Negara Tampaksiring.

Mereka punya Festival Air Suwat, sebuah tradisi penghormatan terhadap peran air sebagai pemberi kehidupan bagi kehidupan desa. Festival ini diadakan tiap menjelang pergantian tahun Masehi, sekitar 30-31 Desember. Kegiatan ini diadakan sejak 2014 dengan tujuan untuk meningkatkan minat wisatawan berkunjung ke desa sejuk yang dikelilingi perbukitan dan persawahan hijau berundak atau terasering.

Ada beragam cara digelar selama festival, misalnya lomba menangkap bebek, tarik tambang, dan adu cepat membawa bubungan berisi lumpur. Semua aktivitas dilakukan di area bekas persawahan yang dipenuhi air dan tentu saja menghasilkan kubangan lumpur. Puncak festival adalah dilakukannya Mendak Tirta dan Siat Yeh atau dikenal juga sebagai perang air.

Perang air dimaknai masyarakat setempat sebagai upaya melawan energi buruk yang bakal merintangi perjuangan mereka menghadapi kehidupan di tahun baru. Lewat Siat Yeh ini yang disimbolkan dengan cara mengambil dan kemudian saling disiramkan ke tubuh, mereka berharap dapat kembali membersihkan diri. Siat Yeh menjadi cara masyarakat setempat menghormati air sebagai komponen penting dalam kehidupan mereka. Siat Yeh biasanya digelar di kawasan catus pata atau perempatan jalan desa.

READ  Pemugaran Kelenteng Wie Leng Keng di Palembang

Warga dari empat penjuru mata angin akan saling bertemu di catus pata. Tua-muda, anak-anak dan dewasa, laki-laki serta perempuan, berbaur di acara ini. Puluhan gayung warna-warni bak pelangi seperti hijau, merah muda, kuning, dan biru telah disiapkan panitia untuk dibagi-bagikan kepada peserta perang air. Hadir pula unit mobil pemadam api dari Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Gianyar. Kendaraan ini diperlukan untuk membantu menyemprotkan air ke tengah peserta.

Warga desa berdatangan sesaat setelah suara kulkul berbunyi. Mereka berkumpul di perempatan desa. Persembahyangan dipimpin sejumlah jro mangku di episentrum catus pata desa adat. Sedangkan krama duduk tersebar di empat penjuru arah. Setelahnya, Siat Yeh dimulai. Satu sama lain saling menyiram. Tawa terdengar di antara hiruk gemelan dan lemparan cipratan guyuran air.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*