Indonesia Sanggup Berkontribusi Menuju Net-Zero Emission Dunia

/script>

Indonesia telah melakukan kerja konkret sebagai implementasi Perjanjian Paris dan siap menjalin kolaborasi dengan negara maju. Ada komitmen investasi hijau USD9,29 miliar dari Inggris

Perubahan iklim itu ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Pada sisi yang lain, solidaritas, kemitraan, dan kolaborasi global merupakan kunci penanggulangannya. Dua kalimat itu menunjukkan pandangan pokok Indonesia dan disampaikan oleh Presiden Jokowi di depan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).

Dengan lantang Presiden Jokowi mengatakan, dengan potensi alam yang besar, Indonesia terus berupaya untuk berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Hutan-hutan dijaga dari pembalakan, kerusakan, dan pembakaran, agar tak menjadi sumber emisi karbon, dan justru bisa tumbuh menjadi tempat penimbunan karbon. Indonesia terus mengembangkan energi terbarukan, terutama biofuel, dan ikut merintis industri otomotis bertenaga beterai.

“Laju deforestasi (di Indonesia) turun signifikan dan terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020,” ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, tempat KTT itu digelar di Glasgow. Dalam KTT tahunan yang popoler disebut conference oh the parties (COPs) ke-26 itu, Presiden Jokowi pun menyebut upaya Indonesia melakukan rehabilitasi area mangrove seluas 600.000 hektare sampai 2024, dan telah merehabilitasi 3 juta ha lahan kritis antara 2010–2019.

“Sektor (kehutanan) yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya pada 2030,” imbuhnya. Setelahnya, area hutan Indonesia bisa dimanfaatkan sebagai area penimbunan karbon dan memberikan hasil melalui skema carbon trading.

Di sektor energi, menurut Presiden Jokowi, Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Indonesia juga akan memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

READ  Komitmen Gereja Jelang Konferensi Iklim PBB

“Tetapi, hal itu tidak cukup. Kami sebagai negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan potensi dihijaukan, negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon (sink) membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju,” Presiden Jokowi menegaskan.

Indonesia sendiri telah berinisiatif memobilisasi pembiayaan iklim yang inovatif seperti pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau (obigasi berbasis syariah). Namun, menurut Presiden Jokowi, penyediaan pendanaan iklim seraya menjalin kemitraan dengan negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Negara-negara ketiga, negara berkembang dan emerging tak bisa jalan sendiri, perlu dukungan negara maju.

“Indonesia akan sanggup berkontribusi lebih cepat menuju net-zero emission dunia. Pertanyaannya, berapa besar kontribusi negara maju ke kami? Transfer teknologi apa yang diberikan, program apa yang bisa didukung untuk pencapaian target SDG-s yang kini terhambat akibat pandemi?” Presiden Jokowi menambahkan.

Lebih jauh, Presiden Jokowi mengatakan bahwa ihwal carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari penanganan perubahan iklim. ‘’Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, adil, dan inklusif harus diciptakan,” kata Presiden Jokowi, yang dalam forum tersebut  didampingi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*