

Jakarta, legacynews.id – Presiden Joko Widodo mengenalkan pakaian adat dari suku-suku di Indonesia dalam acara kenegaraan, seperti pidato di sidang tahunan MPR yang diadakan setiap 16 Agustus. Tradisi baik oleh Presiden ini dilakukan sejak 16 Agustus 2017.
Indonesia tak hanya kaya akan hasil alam dan keragaman hayati. Indonesia juga menjadi rumah bagi kemajemukan budaya dan adat istiadat masyarakat yang luar biasa. Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2010 mencatat ada 1.340 suku bangsa berdiam damai di bumi Nusantara. Mereka terbagi ke dalam 633 kelompok suku besar. Setiap suku bangsa tadi tentu memiliki karakter berbeda satu dengan lainnya, mulai dari bahasa hingga pakaian adatnya.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendata, ada sekitar 801 bahasa daerah digunakan oleh masyarakat Nusantara. Sama halnya dengan pakaian adat, setidaknya jika mengikuti jumlah provinsi di tanah air, maka ada 34 pakaian ada menyertainya. Kendati di tiap provinsi masih terdapat beragam pakaian adat lagi yang menjadi turunannya.
Kebinekaan ini yang kemudian menginspirasi Presiden Joko Widodo untuk mengenalkan kepada dunia seperti apa dan bagaimana bentuk pakaian adat bangsa Indonesia. Ini juga sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepala negara atas nilai-nilai luhur adat dan budaya setiap suku.
Presiden memilih pakaian adat urang Kanekes saat menyampaikan pidato kenegaraan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Senin (16/8/2021). UrangKanekes adalah sebutan untuk masyarakat suku Badui yang bermukim di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Presiden memakai udeng (ikat kepala) warna biru dengan baju lengan panjang dan celana panjang serba hitam. Sebuah koja atau jarog, yaitu tas rajut dari bahan kulit kayu pohon teureup atau terap (Artocarpus) ikut terselempang menyilang di pundak kiri turun ke bagian pinggang kanan sepanjang hampir 50 sentimeter. Sepasang sandal warna hitam berikat tali lebar menghiasi alas kaki.
Pakaian ini disiapkan khusus untuk Presiden Jokowi oleh tetua adat Badui sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. Presiden mengaku nyaman mengenakan pakaian khas urang Kanekes ini karena desainnya sangat sederhana. “Di tengah dunia yang penuh disrupsi sekarang ini, karakter berani untuk berubah, dan mengkreasi hal-hal baru merupakan pondasi untuk membangun Indonesia maju,” kata Presiden Jokowi.
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia Abetnego Panca Putra Tarigan mengatakan, Presiden Jokowi telah mengangkat nama urang Kanekes ke tingkat paling tinggi di sebuah acara kenegaraan. Menurut mantan direktur eksekutif lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) dan aktivis di Sawit Watch itu, pemakaian baju urang Kanekes dapat dimaknai sebagai cara Presiden Jokowi untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan Suku Badui.
Dalam siaran pers Kantor Staf Presiden RI, pada Senin, 16 Agustus 2021, diungkapkan bahwa sebutan “Badui” sejatinya disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda tersebut. Namun penyebutan suku Badui cenderung mengarah pada makna peyorasi karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Mereka secara gegabah mengidentifikasi Badui layaknya Suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar.
Walaupun kelompok masyarakat ini lebih menyebut dirinya sebagai urang Kanekes, dalam perkembangannya istilah Badui kini tidak lagi bersifat peyoratif. Penyebutan Badui oleh banyak orang kini disampaikan tanpa disertai niatan merendahkan. “Istilah Badui dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang. Tapi saya pun kadang pakai istilah ‘Badui’ karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan,” ungkap Hilman Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek.
Copyright © 2023 | WordPress Theme by MH Themes
Leave a Reply