

“Lintasilah jalan-jalan Yerusalem, lihatlah baik-baik dan camkanlah! Periksalah di tanah-tanah lapanganya apakah kamu dapat menemui seseorang, apakah ada yang melakukan keadilan dan yang mencari kebenaran, maka Aku mau mengampuni kota itu” (Yeremia 5:1)
Mencari kebenaran dan melakukan keadilan ketika hukum mati suri kerap tercermin setiap kali kita melihat surat kabar maupun televisi, berita yang ditampilkan membuat kita semakin prihatin, seakan hati nurani, keadilan dan kebenaran telah meninggalkan ibu pertiwi. Hukum mati suri, pemimpin menjadi penguasa, kehebohan terjadi tidak kepada substansi yang sesungguhnya. Masyarakat frustrasi, para Elit dan mahasiswa seakan bertentangan dengan pemerintah.
Tetapi menjadi menarik tatkala kita melihat kajian Prof. Masrukhi seorang Guru Besar ilmu Pendidikan Moral Universitas Negeri Semarang menyatakan ada lima wajah mahasiswa yang tampak dalam realitas diri dan sosial yakni, mahasiswa Idealis-konfrontatif, yang cenderung aktif menentang kemapanan, seperti melalui demonstrasi, mahasiswa idealis-realistis, lebih kooperatif dalam perjuangan menentang kemapanan, mahasiswa oportunis, yang cenderung mendukung pemerintah yang tengah berkuasa dan mahasiswa profesional, yakni mereka yang orientasinya kuliah atau belajar. Ke-4 wajah mahasiswa ini ternyata hanya ada 10 persen, selebihnya wajah kelima adalah mahasiswa reaktif yang berorientasi pada gaya hidup glamor dan bersenang-senang.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2019 mencatat total jumlah mahasiswa Indonesia yang masuk pada 2018 sebanyak 7 juta jiwa. Jumlah mahasiswa di Indonesia tahun 2010 mencapai sekitar 5 juta orang atau 2.4 persen dari jumlah penduduk. “Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 penduduk yang berpendidikan tinggi hanya 8,5 persen dari total penduduk berusia 14 tahun ke atas,” dilansir dalam Webinar Implikasi Hasil Sensus Penduduk 2020 Terhadap Kebijakan Pembangunan Kependudukan, secara daring oleh Kemenko PMK, Kompas.com Kamis (4/2/2021).
Jumlah yang memang merupakan jumlah yang relatif kecil. Bisa dibayangkan jikalau para penerus bangsa, pemimpin masa depan negeri tidak memiliki kepekaan moral, para pemuda asyik dengan kesenangan dan gaya hidup santai. Tentu apa yang terjadi hari-hari ini akan terus berlanjut karena para generasi muda tidak memiliki kemampuan.
Melihat potret buram di atas apakah gereja hanya berdiam dan memperkuat keyakinan dengan berdoa? Gereja sebagai wadah pembinaan moral dan kawah candradimuka bagi para pemimpin muda harus bekerja lebih keras dan memiliki program pembinaan yang menjawab tantangan zaman. Memikirkan pembangunan iman, karakter dan kompetensi tidak sekadar menjadi pemimpin di lingkungan gereja, melainkan juga dalam dunia sekuler.
Gereja siap menelurkan pemimpin dalam dunia kerja dan dunia politik. Tidak bisa lagi alergi terhadap politik. Meski memang tidak berpolitik, tatkala berbicara tentang mencari kebenaran dan melakukan keadilan. Gereja harus menjadi teladan. Kemampuan menjalankan keadilan dan kebenaran hanya ada di dalam Tuhan Yesus Kristus dan orang yang percaya kepada-Nya.
Leave a Reply