

Sahiron yang merupakan pakar hermeneutik Indonesia menjelaskan, McM merupakan hasil racikan sejumlah pemikiran mufassir modern kontemporer sebelumnya. Ia menggarisbawahi ada tiga hal yang harus digali dalam menggunakan pendekatan ini. Pertama, seseorang harus menangkap al-ma’na al-tarikhi atau makna historis.
“Al-ma’na al-tarikhi adalah apa yang mungkin dimaksudkan oleh Allah ketika Allah menurunkan ayat-ayat tertentu kepada Nabi Muhammad sebagai audiens pertama. Atau kalau menafsirkan hadits, kita akan mencari al-ma’na al-tarikhi-nya, yaitu sesuatu yang dimaksud Nabi Muhammad ketika menyampaikanya kepada sahabat,” terang Sahiron dalam seminar Parallel Session 1 ACRP bertema ‘Pendekatan Ma’na-cum- Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an’, Senin (22/11/2021).
Kedua, kata Sahiron, seorang mufassir berusaha menggali signifikansi atau teks pesan utama historisnya (al-maghza al-tarikhi). Ketiga, mufassir mengembangkan signifikansi teks tersebut ke dalam situasi kekinian, atau sesuai waktu yang tempat.
“Inilah yang disebut al-maghza al-mutaharrik al-mu’asir, atau signifikansi dinamis yang kekinian,” ucapnya.
Menurut Sahiron, untuk menggunakan pendekatan McM ini, mufassir perlu memiliki paradigma, di antaranya meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang fungsinya sebagai rahmat bagi semesta alam.
“Dalam menafsirkan Al-Qur’an atau hadist Nabi, kita harus yakin fungsinya sebagai rahmatan lil alamin, bukan sebaliknya. Maka apabila ada satu pemahaman atau penafsiran tertentu terhadap ayat Al-Qur’an yang tidak mencerminkan kasih sayang terhadap manusia atau alam semsta, maka hampir dipastikan itu bukan Al-Qur’an yang berbicara, tetapi otak manusia yang mempunyai kepentingan tertentu, dan berupaya menuju kepentingan tersebut. Misalnya, membolehkan aksi pengeboman, dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa boleh membunuh orang-orang Musyrik di manapun berada,” terang Pengasuh PP Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta ini.
Selain itu, lanjutnya, mufassir juga harus meyakini pesan dalam Al-Qur’an itu bersifat universal. Menurutnya, universalitas Al-Qur’an itu membutuhkan penafsiran, reaktualisasi, dan implementasi. Kemudian tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal sehat, serta tidak ada nash yang bertentangan, melainkan setiap ayat memiliki konteksnya sendiri.
Ada prinsip utama yang harus dijalankan mufassir. Dijelaskan Sahiron, ketika seseorang menafsirkan ayat Al-Qur’an harus selalu berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan tidak boleh sembarangan melihat konteksnya.
Leave a Reply