

Jakarta, legacynews.id – Di era digital ini kemajuan teknologi informasi tak mampu dibendung lagi, di mana era digital membuka ruang seluas-luasnya setiap orang mendapatkan akses informasi.
Termasuk kitab suci yang dulu dianggap sakral dan tertutup kini pun bisa dibedah dengan sangat terbuka. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan.
Namun disisi lain kesiapan sumber manusia menerima arus informasi yang tajam itu belum siap, apalagi ketika informasi itu dianggap mengusik keyakinan selama ini yang dianggap sakral dan tak bisa dinodai.
Padahal cepat atau lambat keterbukaan ini semakin terbuka, bisa jadi di negeri ini ada UU yang mengaturnya, tetapi arus kuat digitalisasi sangat tak mungkin dibendung lagi, artinya kesiapan manusia menerima keterbukaan sekalipun tak menyenangkan itu pasti akan terjadi.
Berangkat dari kondisi inilah Persatuan Wartawan Nasrani (PEWARNA) menggandeng Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) serta didukung aliansi Perekad menggelar webinar dengan tema Relevansi UU Penodaan Agama di Era digital.
Djasarmen Purba Ketua Umum MUKI membuka webinar dengan memberikan apresiasi kepada semua narasumber yang bersedia hadir untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat terutama mengenai UU Penodaan di era di gital ini.
Dalam webinar yang menghadirkan beberapa narasumber antaranya Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar, Ketua Umum PGLII Pdt DR. Ronny Mandang, M.Th. Pemerhati Media KRT Roy Suryo, Praktisi hukum Dr. Rinto Wardana SH MH CRA serta kesaksian korban ITE tentang penodaan agama Abraham Moses yang dulu bernama Saifuddin Ibrahim sedangkan acara itu sendiri di moderatori Caesario Colondam Sekjen MUKI.
Ketua Umum PGLII Pdt DR. Ronny Mandang, M.Th. dalam paparannya mengatakan bahwa berdasarkan kitab Suci masing-masing yang didakwahkan bukan menyerang agama lain, tetapi hendaknya masing-masing agama dalam menjalankan dakwah maupun misinya tetap menjunjung toleransi tanpa harus menyerang agama lain.
Leave a Reply