

Kegiatan yang berlangsung pada Rabu (25/6/2025) ini dibuka oleh Retno Dewati, Ketua Pokja Pembinaan, Pengembangan, Promosi, dan Kelembagaan Bina Keluarga Remaja (BKR), mewakili Direktur Bina Ketahanan Remaja. Ia menekankan bahwa komunikasi dalam keluarga adalah jantung dari ketahanan bangsa.
“Remaja sedang berada dalam masa pencarian jati diri. Mereka butuh ruang untuk mengeksplorasi dan tumbuh, bukan sekadar menerima perintah,” ujarnya di hadapan para peserta yang hadir dari berbagai kalangan.
Ketika Ayah Dilibatkan dalam Pengasuhan, Anak Lebih Percaya Diri
Salah satu sorotan utama dalam kelas ini adalah pentingnya peran ayah dalam pengasuhan. Ayah tak lagi hanya berperan sebagai pencari nafkah, tapi juga diharapkan menjadi pendamping tumbuh kembang remaja yang hadir secara emosional, menjadi teman diskusi, penyeimbang mental, sekaligus pelindung.
Namun di lapangan, banyak ayah masih menghadapi tantangan. Kesibukan kerja, pola asuh lama, hingga rasa sungkan membuat keterlibatan emosional kerap tertunda. Dalam konteks ini, ibu berperan sebagai jembatan emosional, yang bisa mendorong ayah hadir tanpa tekanan. Bukan mengkritik, tapi mengajak. Bukan menuntut, tapi membangun ruang kolaborasi.
Selain itu, materi “1001 Cinta dan Drama” menjadi sajian utama dalam kelas ini. Materi yang juga tengah dikupas dalam workshop tiga hari bersama kader dan remaja dari berbagai daerah ini mengangkat konflik klasik antara keinginan remaja dan kekhawatiran orang tua. Pendekatan komunikatif yang lebih membumi dan manusiawi menjadi solusi untuk menjembatani dua dunia ini.
Beberapa strategi praktis yang dibagikan dalam kelas antara lain: Mengadakan pertemuan pengasuhan (parenting meeting) untuk menyepakati nilai dan aturan bersama, Menyampaikan teguran tanpa nada tinggi atau sindiran, Menggunakan pendekatan “I-message” agar pesan lebih mudah diterima anak, dan yang terpenting: menjadi pendengar yang baik, bukan hanya pemberi nasihat.
Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari beragam latar belakang, kader BKR, guru, fasilitator PKK/PKP, penggiat remaja, orang tua, hingga remaja itu sendiri. Tujuannya menciptakan ekosistem pengasuhan yang sehat, meningkatkan kapasitas para kader, dan membentuk keluarga yang lebih peka dan adaptif terhadap dinamika perkembangan remaja dalam era digital.
Karena Kelas Bersahaja bukan sekadar program edukasi. Ia adalah undangan bagi orang tua untuk hadir lebih dekat mendengar, merangkul, dan memahami dunia anak-anak mereka dengan hati terbuka.
Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, hanya keluarga yang hangat dan saling memahami yang mampu melahirkan generasi kuat dan tangguh. Di sanalah, masa depan bangsa sedang dibentuk, dimulai dari rumah. (indonesia.go.id)
Leave a Reply