Memperkuat Supremasi Hukum di Tingkat Regional & Global

/script>

Martabat Manusia, Prinsip Dasar untuk Memajukan HAM dan Supremasi Hukum di Tingkat Regional dan Global

Jakarta, legacynews.id –  15/11/ 2023 – Martabat manusia (human dignity) menjadi sebuah prinsip dasar untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) dan memperkuat supremasi hukum baik di tingkat regional maupun global. Hal ini disampaikan empat narasumber yang menjadi pembicara dalam diskusi panel 1 bertajuk “Human Dignity and Rule of Law: Global and Regional Outlook” (Martabat Manusia dan Supremasi Hukum: Pandangan Global dan Regional) dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang digelar Kementerian Hukum dan HAM dengan Institut Leimena yang diadakan 13-14 November 2023.

Keempat narasumber tersebut adalah Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Arsul Sani, Deputi Wakil tetap RI pada Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Trade Organization (WTO), dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa, Konfederasi Swiss Achsanul Habib; Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum, dan Direktur Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama dari Universitas Brigham Young, Brett Scharffs.

Landasan martabat manusia dan HAM, Achsanul Habib mengatakan, berasal dari Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948, yang hingga sekarang dirayakan sebagai Hari HAM Internasional.

“Dalam artikel DUHAM dikatakan, manusia dilahirkan mempunyai martabat yang sama, kedudukan dan hak yang sama. Kedudukan kita sebagai manusia setara. Juga bebas dari diskriminasi,” ujar Achsanul Habib.

Berdasarkan DUHAM, lanjut Achsanul, PBB membentuk Dewan HAM pada 2006 menggantikan Komisi HAM. Dengan adanya Dewan HAM PBB, negara-negara di dunia mengharapkan ada upaya lebih lanjut untuk melakukan monitoring pemajuan HAM, advokasi untuk memberikan pemahaman HAM dan pengembangan kapasitas untuk membantu negara-negara mengimplentasikan nilai-nilai HAM.

READ  Toleransi Sebagai Urgensi Kemanusiaan Di Tengah Diskriminasi

Namun saat ini, Achsanul melihat ada sejumlah tantangan di dalam mekanisme HAM tersebut. Tantangan pertama adalah Dewan HAM sulit mencapai konsensus apalagi kalau sudah menyangkut sorotan terhadap resolusi spesifik negara dan isu-isu tematik. Akibatnya tidak ada consensus karena keputusan harus diambil melalui voting.

“Tantangan kedua, Dewan HAM seringkali ditemukan isu yang diajukan dalam agenda pembahasan adalah kepentingan satu sisi atau pihak, bukan kepentingan bersama. Tantangan ketiga adalah bagaimana memaknai kebebasan berekspresi dari negara-negara tertentu yang cukup dominan di dalam HAM,” terang Achsanul Habib.

Ruang Diskusi HAM

Menyadari tantangan tersebut, Achsanul menegaskan negara-negara perlu mendapatkan kembali ruang untuk mendiskusikan HAM dengan semangat konstruktif dan terbuka di bawah sentuhan geopolitik dan mengingat bahwa tidak ada yang sempurna.

“Ini adalah semangat yang memang harus kita kembangkan. Mari kita lakukan hak asasi manusia untuk tujuan hak asasi manusia, bukan hak asasi manusia sebagai alat untuk tujuan politik atau kepentingan politik,” tegas Achsanul Habib.

Sementara itu, Yuyun Wahyuningrum menambahkan supremasi hukum adalah kendaraan untuk mempromosikan perlindungan HAM agar dapat bekerja membangun kehidupan yang bermartabat, damai dan sejahtera.

“Kita dapat menggunakan aturan hukum untuk meningkatkan pemajuan dan perlindungan HAM. Kita membutuhkan ekosistem HAM di ASEAN. Ekosistem ini meliputi penguatan aturan hukum,” kata Yuyun Wahyuningrum.

Sedangkan Brett Scharffs membagikan tujuh gagasan bagaimana martabat manusia dapat membantu individu atau masyarakat saat berada dalam masa-masa konflik.

Pertama, betapapun sulitnya, masyarakat harus menahan godaan untuk tidak memanusiakan satu sama lain atau menghindari dehumanisasi musuh.

Kedua, menghindari menyalahkan kelompok atas kejahatan yang dilakukan oleh individu atau orang-orang tertentu yang termasuk dalam kelompok tersebut.

READ  Keyakinan Agama Anti-LGBT Tidak Melindungi Hak Asasi Manusia

Ketiga, mengurangi pemikiran tentang kita versus mereka. “Kita perlu melangkah mundur dan mengingat bahwa kita semua adakah kita dan kita semua adalah mereka. Kita semua adalah manusia,” kata Brett Scharffs.

Gagasan keempat, menghilangkan kecenderungan untuk melihat dengan sangat jelas kesalahan yang dilakukan musuh yang akan memicu masyarakat untuk melakukan mobilisasi tindakan sendiri melawan musuh tersebut.

Untuk gagasan kelima, berkaitan dengan aturan-aturan yang ada di Konvensi Jenewa, yaitu aturan yang mengatur cara berperilaku pada saat konflik agar tidak merugikan masyarakat sipil.

Keenam, saling mengenal dan memahami satu sama lain. Tidak hanya melihat manusia sebagai target yang jauh tetapi sebagai manusia mencoba saling memahami sehingga perang atau tragedi kemanusiaan tidak terjadi.

Ketujuh, martabat manusia itu harus mengakui bahwa masing-masing dari kita memiliki hak untuk hidup baik sebagai individu maupun manusia,” papar Brett Scharffs.

Kemudian Arsul Sani menerangkan martabat manusia dan HAM di Indonesia sudah ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi dasar tertinggi dan Pancasila sebagai dasar negara.

“Secara spesifik Indonesia telah menyeimbangkan pelaksanaan harkat dan martabat manusia serta HAM sebagai hak konstitusional. Konstitusi kita juga memasukkan kewajiban untuk menghormati hak warga negara lain ketika warga negara tersebut menggunakan haknya,” ungkap Arsul Sani.

(YUNO)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*