Mempertahankan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia

/script>

Kabinet PDRI tak sempat beraksi di Bukittinggi. Rombongan Syafruddin Prawiranegara bergerak dari Koto Tinggi ke Bidar Alam dalam 3 minggu dan singgah di sejumlah nagari.

Jakarta, legacynews.id – Bangunan Museum Bela Negara sudah berdiri megah di atas tanah perbukitan Nagari Koto Tinggi di Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota. Gaya arsitekturnya mutakhir, memadukan atap bangunan dengan dindingnya. Bangunan seluas sekitar 2.000 meter persegi itu terdiri dari dua segmen yang memiliki atap tinggi dan lancip pada salah satu ujungnya. Ketika kini kedua segmen itu tersambung, maka atap itu membentuk pola tanduk kerbau khas Sumatra Barat.

Meski belum seluruh interior dan eksterior bangunan rampung, kemegahannya sudah terlihat. Bangunan itu sudah siap difungsikan sebagai museum dan auditorium, sekaligus akan menjadi titik pusat dari pengembangan kawasan pariwisata, kuliner, dan pendidikan di wilayah pegunungan Sumatra Barat. Lokasinya ada di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut.

Pada dasarnya bangunan itu merupakan sebuah monumen untuk mengenang Nagari Koto Tinggi, sebagai salah satu pusat pemerintahan Indonesia pada era Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI dimaknai sebagai tindakan bela negara untuk mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menghapus eksistensi Republik Indonesia itulah serdadu Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Namun, sebelum Yogyakarta jatuh dan diduduki tentara Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden (merangkap Perdana Menteri) Mohammad Hatta telah mengirim surat kawat pada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara. Syafruddin juga diberi mandat untuk membentuk Pemerintahan RI Sementara di Sumatra Barat.

Pilihan Hatta tidak salah. Pada hari-hari genting itu, Syarifuddin sedang berada di Bukittinggi, bersama sejumlah pemimpin republik lainnya. Kota Bukittinggi saat itu sepenuhnya dikuasai oleh kekuataan RI. Meski telegram resmi belum diterima, Syafruddin telah mendengar perintah itu dari radio. Tanpa membuang waktu, dia menggelar rapat persiapan pembentukan PDRI pada 19 Desember itu juga.

READ  Program Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai

Di antara tokoh yang hadir dalam rapat itu, ada nama TM Hasan, Sutan Moh Rasyid, Kolonel Hidayat, dan beberapa lainnya. Deklarasi belum dilakukan, untuk melihat perkembangan. Setelah mendapat kepastian bahwa para pemimpin republik ditawan serdadu Belanda, di antaranya adalah Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan H Agus Salim, maka persiapan deklarasi PDRI pun dimatangkan.

Namun, para pemimpin republik itu harus bergegas menyingkir karena pasukan Belanda bergerak dari Padang menuju Bukittinggi. Tujuan selanjutnya adalah, Nagari Lareh Sago Halaban di Kabupaten Limapuluh Kota. Jaraknya sekitar 45 km di sisi timur Bukittinggi atau 15 km dari Kota Payakumbuh.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*