Pada 2023, risiko AS menghadapi resesi sebesar 38 persen, negara-negara Eropa 50–55 persen, dan Asia 20–25 persen. Di Indonesia hanya 3 persen, berbeda jauh dengan Sri Lanka.
Jakarta, legacynews.id – Krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka menjadi bukti bahwa pandemi panjang Covid-19, yang disusul krisis geopolitik di Ukraina, bisa membuat perekonomian sebuah negara babak belur. Sri Lanka jatuh ke dalam krisis ekonomi yang akut, setelah sektor pariwisatanya ambruk karena pandemi dan upaya pemulihan ekonominya terganggu, antara lain, oleh krisis pangan dan energi yang makin berat sebagai dampak serbuan Rusia ke Ukraina.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa terpaksa mengundurkan diri dan menyingkir keluar negeri, ke Maladewa, pada Rabu, 12 Juli 2022, kemudian berpindah ke Singapura. Ia meninggalkan negerinya yang mengalami inflasi 50 persen, cadangan devisa yang hanya cukup untuk impor 7–8 pekan, serta jaringan listrik yang biarpet karena ketiadaan bahan bakar untuk pembangkit listriknya.
Penerimaan negara Sri Lanka anjlok. Produksi pangan merosot karena pemerintah memaksakan pertanian organik tanpa pupuk. Harga pangan melonjak, BBM langka, dan nilai tukar Rupee ke USD terdepresiasi 50 persen.
Keguncangan ekonomi itu sudah diduga. Para analis ekonomi pun telah memperkirakan bahwa Sri Lanka akan menghadapi problem ekonomi serius. Survei yang dilakukan Bloomberg pada Juni lalu, sebelum belitan ekonomi itu berubah menjadi krisis politik, menyebutkan bahwa para analis yang menjadi narasumbernya menduga bahwa negara tersebut akan mengalami problem berat.
Dalam survei Bloomberg itu, para analis hanya menyampaikan sejumlah indikator ekonomi makro dari berbagai negara yang kemudian diolah dalam model statistik. Model yang dikembangkan oleh Bloomberg itu kemudian memberikan angka peluang (probabilitas) kejadian pertumbuhan negatif pada produk domestik bruto (PDB) jangka dua kuartal atau lebih alias resesi pada 2023.
Hasilnya, model statistik itu menyebutkan bahwa dengan probabilitas 85 persen, Sri Lanka akan dilanda resesi pada 2023. Perkiraan resesi itu melonjak tinggi dari survei sebelumnya yang menyebut probabilitas 33 persen. Tapi, rupanya krisis politiknya mencapai puncaknya lebih cepat dan berujung pada pergantian pemerintahan di Sri Lanka.
Isu Sri Lanka itu tentu hanya satu bagian dari survei Bloomberg, yang diumumkan ke publik pada 6 Juli 2022. Observasi lembaga keuangan dan media berskala global itu menyoroti negara-negara Asia dan Pasifik Barat, yang selama ini menunjukkan ketahanan ekonomi yang relatif lebih tangguh dibanding negara-negara di Benua Eropa dan Amerika, dalam menghadapi pandemi, inflasi global, dan guncangan geopolitik dari Ukraina itu.
Leave a Reply