

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pada tahun 2023, jumlah perceraian di Indonesia berjumlah 460 ribu.
Jakarta, legacynews.id – Perceraian merupakan isu yang kompleks dan sering kali menimbulkan perdebatan di kalangan umat Kristen. Dalam konteks kehidupan modern, perceraian tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu, dan banyak pasangan yang memilih untuk bercerai ketika menghadapi masalah yang tampaknya tidak dapat diselesaikan. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah seorang Kristen diperbolehkan untuk menikah lagi setelah bercerai. Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut aspek teologis, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan budaya yang lebih luas.
Pandangan Kitab Suci tentang Perceraian
Kitab Suci memberikan panduan yang cukup jelas mengenai perceraian. Dalam Matius 19:6 (TB), Tuhan Yesus Kristus menegaskan bahwa pernikahan adalah ikatan yang kudus: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Ayat ini menekankan bahwa pernikahan adalah komitmen yang tidak bisa dibatalkan dengan mudah.
Namun, dalam Matius 19:9 (BIS), Yesus memberikan pengecualian: “Jadi, dengarlah ini: Siapa menceraikan istrinya — padahal wanita itu tidak menyeleweng — kemudian kawin lagi dengan wanita yang lain, orang itu berzinah.” Ayat ini menunjukkan bahwa perceraian diperbolehkan dalam kasus perzinahan, meskipun tetap menjadi subjek perdebatan di antara para teolog.
Pada zaman Yesus, perceraian adalah praktik yang relatif umum di kalangan orang Yahudi, dan hukum Musa mengizinkan perceraian dengan memberikan surat cerai (Ulangan 24:1-4). Namun, Yesus menantang praktik ini dengan menekankan pentingnya kesetiaan dan komitmen dalam pernikahan. Konteks historis ini penting untuk dipahami agar kita dapat menginterpretasikan ajaran Yesus dengan tepat.
Pernikahan Kembali Menurut Kitab Suci
Selain Matius 19:9, 1 Korintus 7:15 (TB) juga memberikan wawasan tentang pernikahan kembali: “Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai Sejahtera”. Ayat ini menunjukkan bahwa dalam kasus tertentu, seperti ketika pasangan yang tidak beriman meninggalkan pernikahan, orang Kristen tidak terikat dan dapat menikah lagi.
Interpretasi ayat-ayat ini bervariasi di antara para teolog. Beberapa berpendapat bahwa pernikahan kembali hanya diperbolehkan dalam kasus perzinahan atau ketika pasangan yang tidak beriman meninggalkan pernikahan. Yang lain berpendapat bahwa kasih karunia dan pengampunan Allah memungkinkan pernikahan kembali dalam situasi lain, asalkan dilakukan dengan pertobatan dan niat yang tulus.
Perspektif Kristen Kontemporer
Pandangan tentang pernikahan kembali setelah perceraian bervariasi di antara denominasi Kristen. Gereja Katolik, misalnya, umumnya tidak mengizinkan pernikahan kembali setelah perceraian, kecuali pernikahan sebelumnya dinyatakan batal. Sementara itu, banyak gereja Protestan, Injili dan Pentakosta memiliki alasan tersendiri dan mengizinkan pernikahan kembali dalam situasi tertentu.
Budaya modern yang lebih permisif terhadap perceraian dan pernikahan kembali juga mempengaruhi pandangan Kristen. Banyak gereja berusaha menyeimbangkan ajaran Kitab Suci dengan realitas sosial yang dihadapi jemaat mereka, termasuk tantangan dalam mempertahankan pernikahan di tengah tekanan hidup modern.
Kitab Suci memberikan panduan yang jelas mengenai kesakralan pernikahan dan alasan yang sah untuk perceraian. Meskipun ada pengecualian yang memungkinkan perceraian dan pernikahan kembali, keputusan ini harus diambil dengan hati-hati dan pertimbangan yang mendalam.
Bagi umat Kristen, penting untuk memahami ajaran Kitab Suci mengenai pernikahan dan perceraian, serta bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, mereka dapat membuat keputusan yang sesuai dengan iman mereka dan menjaga integritas pernikahan sebagai institusi yang diberkati oleh Allah.
Pro Ecclesia Et Patria
Leave a Reply