

“Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” Lukas 18: 11-12
Yesus bertutur dalam suatu perumpamaan, ada seorang Farisi dan pemungut cukai yang masuk Baik Allah untul berdoa.
Farisi adalah orang yang taat mengikuti hukum Taurat, sementara pemungut cukai berdoa dalam kesadaran atas dosa-dosanya.
Dan Yesus berkata, orang yang dibenarkan Tuhan bukanlah orang Farisi tetapi si pemungut cukai.
Ironis, orang yang taat mematuhi hukum Taurat malah tidak dibenarkan Allah, sebaliknya pemungut cukai yang dibenarkan Allah.
Perumpamaan ini memberi pelajaran tentang legalis dan antinomianisme.
Orang Farisi bersifat legalis, karena selalu taat terhadap aturan hukum.
Pemungut cukai terkondisikan orang yang berusaha menjadi legalis tetapi gagal, dan ia jatuh dalam dosa.
Di Alkitab tidak ada teks legalis (legal sesuai hukum, maksudnya sesuai hukum Taurat) atau Antomianisme (anti-nomos, diartikan anti hukum). Meski demikian, kedua istilah itu muncul di berbagai denominasi gereja bahkan para pemimpin Kristen, melalui perumpamaan Yesus, Farisi dan pemungut cukai.
Gereja atau pemimpin Kristen legalis akan selalu mengikuti hukum Allah yang tertulis di Alkitab.
Pelanggaran terhadap hukum Allah akan menerima disiplin gereja.
Di zaman kini, peraturan-peraturan gereja bisa saja lebih banyak dari isi hukum Taurat.
Sebaliknya ada juga gereja atau pemimpin Kristen yang beranggapan tidak perlu mengikuti hukum Allah sama persis seperti yang tertulis di Alkitab.
Ibarat, yang legalis, seperti Kereta Api, semua gerakan sesuai aturan, berhenti pun harus di stasiun.
Sedangkan antinomianisme seperti Bajaj, gerakan sangat bebas, mau belok kapan saja, berhenti kapan saja bisa.
Leave a Reply