

Jakarta, legacynews.id – Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari atas beberapa suku, bahasa, budaya, agama, dan adat istiadat. Kemajemukan itu merupakan kekayaan sekaligus menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia. Ditambah lagi dengan terdiri dari ribuan pulau, luasnya daratan dan lautan. Terutama dengan jumlah penduduk terbesar ke 4 didunia, setelah India, Tiongkok, Amerika Serikat.
Masalah dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa terjadi, karena warganegara Indonesia belum semuanya memahami dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Persoalan yang sering terjadi dalam pengamalan Pancasila adalah tafsir agama. Dengan tafsir yang keliru dan berbeda menimbulkan percikan kemarahan. Problema sensitif muncul di tengah masyarakat. Masih ada berita-berita orang Kristen beribadah dihentikan di berbagai kota, gereja dirusak atau tidak boleh dibangun dengan alasan tidak berijin, ada Kapel di Cinere Depok di geruduk Ormas. Hal ini acapkali terjadi di berbagai kota di Indonesia. bahkan di Jakarta sebagai ibukota negara.
Relasi antar agama dirumuskan dalam narasi ‘kerukunan agama’ dan dapat dipahami istilah tersebut dipengaruhi oleh konsep ‘kebebasan beragama’. Indonesia mencanangkan Pola Kerukunan untuk mencegah agar orang tidak terjebak dalam konflik-konflik keagamaan, maka perlu moderasi agama dengan pola Kerukunan Antar-Umat Beragama, Kerukunan Intern-Umat Beragama dan Kerukunan Antara Umat Beragama dengan Pemerintah.
Moderasi beragama juga diterjemahkan sebagai bentuk beragama yang moderat, ia terbuka dengan siapa saja, dan berada di mana saja, tidak menolak siapapun yang berbeda dengan dirinya.
Moderasi beragama dari perspektif Kristen, dapat dimulai dari ucapan Tuhan Yesus tentang hukum utama yang pertama tentang kasih, dan hukum kedua yang dengan itu, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39).
Suatu rumusan praktis diupayakan sebagai jembatan dapat menghubung umat secara Lintas agama. Meskipun pola ini bukanlah suatu pemahaman secara teologi, tetapi pemahaman ini dimaksudkan agar tidak terjadi konflik agama satu dengan lain, ataupun agar di dalam komunitas dan kelompok umat beragama tidak ada upaya saling menjegal. Namun demikian, istilah kebebasan beragama sering dipahami sebagai bagian utama dari kerukunan umat beragama.
Kebebasan beragama menekankan hak setiap penduduk secara pribadi untuk bisa menjalankan dan mengamalkan ajaran dan keyakinan agama yang dianut. Kedua istilah kerukunan agama dan kebebasan beragama ini mempengaruhi relasi antar agama di Indonesia yang sedang menuju toleransi beragama (Toward Tolerance) yang digaungkan dalam moderasi beragama.
Karena itu untuk menuju toleransi beragama pendekatan kultural perlu dilakukan dalam rangka memberikan pengertian dan pemahaman kepada tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemuda yang ada di berbagai kota dan desa, supaya dengan penuh kesadaran dan hati tulus dapat mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat yang berbeda agama sehingga dapat terciptanya persaudaraan yang rukun. Menteri Agama diharapkan memiliki kemampuan menjadi Panglima dalam upaya kebebasan beragama dapat diterapkan.
Tafsir agama dan diskusi agama hendaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang sesuai. Sehingga pemahaman mendasar yang sesuai ajaran agama yang benar bisa dikenali dan masyarakat lintas agama dapat memahami, menghormati dan menghargai kebebasan beragama. selanjutnya merawatnya dalam kerukunan.
Negara wajib hadir dalam upaya kebebasan beribadah, Menteri Agama mampu menunjukkan kenegarawanan dalam hal keberagaman agama. Dari sisi tata negara, Indonesia telah memiliki acuan dasar bersama dalam bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengamalan Pancasila inilah merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara yang mencintai tanah air Indonesia.
Pada butir pertama Pancasila adalah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki pengertian bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni negara yang religius, bukan Negara atas dasar agama tertentu dan bukan juga negara sekuler .
Hakikat sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat dilihat dalam UUD 1945 pasal 29
(1) yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan yang dianut.
Dan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Atas berkat rachmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kini saatnya, negara berani melaksanakan perintah UUD 1945. Ada Kementerian Agama, POLRI, aparat penegak hukum lainnya yang harus berani menerapkannya. Melakukan toleransi yang artinya juga membawa kedamaian ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mari peduli dengan lingkungan dan bersahabat dengan tetangga. jadikan Indonesia ‘Rumah Bersama’.
Pro Ecclesia et Patria
Antonius Natan | Staf Ahli Ketum PGLII
Leave a Reply