“dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, … .” Lukas 2:6
Di negeri yang multikultural ini, perbedaan merupakan keniscayaan bagi umat manusia. Dan tiap-tiap suku, ras dan agama sah-sah saja mengekpresikan ungkapan keyakinan agamanya di ruang publik. Tokh kontitusi tidak melarangnya.
Tetapi, tokh keniscayaan atas multikulturalis negeri ini, semakin banyak manusia yang hidup dengan intoleransi tinggi yang tak wajar.
Antara lain, berlomba-loma buat pembenaran yang didukung ayat-ayat suci, bahwa haram hukumnya mengucapkan “Selamat Natal kepada kaum Nasrani!”.
Heran, di zaman yang semakin terbuka juga sebagian orang yang mengaku beragama malah menambah kain penutup tubuh. Ya, sebagai ciri dan identitas yang hqrus dibedakan dengan kaum yang terbuka, bukan busananya, tetapi pikiran dan wawasan hasil dari ekpresi beragama yang moderat.
Karenanya, umat Kristen tak perlu galau atau berteriak agar hari raya keagamaannya harus diakui sebatas pengakuan pendek yang keluar dari mulut.
Tokh, saat para gembala dari padang Efrata dan orang-orang Majus saat bertemu Yesus lebih fokus kepada penerimaan bahwa Yesus adalah Juruselamat ketimbang sibuk mencari kalimat apa yang hendak diucapkan.
Natal tak soal dengan hal-hal kecil seperti sibuk memikirkan ucapan Selamat Natal! Tanpa ucapan seperti itu dari orang-orang yang hatinya penuh kebencian, sukacita Natal tak berkurang.
Salam Injili
Pdt. DR. Ronny Mandang, MTh.
Ketum PGLII – Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia
Leave a Reply